Sobat beritalennus.co.id pernahkah kalian disatu titik merasa bahwa kewajiban perpajakan kalian ada yang kurang terpenuhi. Misalnya, kalian baru ingat bahwa ada rumah atau tanah atau aset-aset lainnya belum kalian laporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) PPh. kalian baru ingat bahwa ada rumah belum dilaporkan di SPT, misalnya rumah itu kita beli secara kredit tahun 1995 dan lunas tahun 2005 atau contoh lain kita membeli mobil tahun 2016 secara kredit dan telah lunas di tahun 2020 terkait hal tersebut bagaimana kewajiban perpajakan kita sebagai Wajib Pajak yang patuh dan taat ? Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Republik Indonesia sejak bulan Januari 2022 mengirim informasi dalam bentuk email, Whatsapp dan saluran komunikasi lannya kepada seluruh Wajib Pajak di Indonesia yang memiliki harta namun belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) atau juga terdapat perbedaan antara penghasilan dengan harta yang belum diungkap dilaporkan. Apakah kalian salah satu dari Wajib Pajak tersebut?. Jangan kuatir Pemerintah saat ini telah menggulirkan satu kebijakan agar harta/aset yang belum dilaporkan itu menjadi legal dan bersih, yaitu kebijakan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) / Voluntary Disclosure Program (VDP).
PROGRAM PENGUNGKAPAN SUKARELA (PPS) / VOLUNTARY DISCLOSURE PROGRAM (VDP) adalah Pemberian kesempatan kepada Wajib Pajak untuk melaporkan/mengungkapkan kewajiban perpajakan yang belum dipenuhi secara sukarela melalui pembayaran PPh berdasarkan pengungkapan harta. Bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak dan diselenggarakan berdasarkan asas kesederhanaan, kepastian hukum, serta kemanfaatan. Program ini Dilaksanakan selama 6 (enam) bulan, dimulai pada 1 Januari 2022 dan berakhir pada 30 Juni 2022.
Yang melatar belakangi program ini digulirkan adalah teryata masih terdapat peserta Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang belum mendeklarasikan seluruh aset pada saat Pengampunan Pajak tahun 2015 lalu. Peserta Tax Amnesty baik itu Wajib Pajak Orang Pribadi maupun Wajib Pajak Badan masih ada yang belum melaporkan seluruh harta dalam Surat Pernyataan Harta (SPH), atas hal ini bila ditemukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan dianggap sebagai penghasilan dan dikenai PPh Final dengan tarif 25% untuk Wajib Pajak Badan, tarif 30% untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, dan tarif 12,5% untuk Wajib Pajak Tertentu. Tarif ini dikalikan dari Harta Bersih Tambahan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor-36/Tahun 2017 ditambah sanksi 200%.
Setelah berakhirnya program Tax Amnesty pada 31 Desember 2015 ternyata juga masih terdapat Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum mengungkapkan seluruh penghasilan dalam laporan Surat Pemberitahunan Tahunan (SPT Tahunan) tahun 2016 sampai dengan tahun 2020. Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum melaporkan penghasilan Tahun Pajak 2016 s.d tahun 2020 sesuai ketentuan akan dikenai Pajak Penghasilan (PPh) sesuai tarif yang berlaku ditambah sanksi denda administrasi.
Program Pengungkapan Sukarela (PPS) ini dibagi menjadi 2 (dua) kebijakan, yaitu:
- PPS KEBIJAKAN 1 (SATU),
Pada PPS kebijakan satu ini, Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) final berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program Pengampunan Pajak. Kemudian Wajib Pajak yang dapat mengikuti Program Pengungkapan Sukarela (PPS) Kebijakan 1 ini adalah Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan. Basis pengungkapan harta/asset adalah harta/asset yang belum diungkap saat mengikuti Tax Amnesty (TA) yaitu harta sejak 1 Januari 1985 sampai dengan 31 Desember 2015, lalu berapa tariff PPh Finalnya atas harta bersih yang belum diungkap/dilaporkan itu ? terdapat 3 (tiga) lapisan tarif:
• 11% untuk harta deklarasi luar negeri, artinya harta atau asset di luar negeri yang hanya dideklarasikan tanpa dibawa masuk ke Indonesia (Repatriasi) apalagi di Investasikan.
• 8% untuk harta Luar Negeri repatriasi dan harta Dalam Negeri, artinya harta atau asset Luar Negeri yang dibawa masuk ke Indonesia (Repatriasi) tanpa di Investasikan, juga harta/asset dalam negeri yang tidak diInvestasikan.
• 6% untuk harta/aset Luar Negeri Repatriasi dan harta/aset Dalam Negeri, yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN)/Sektor Usaha Hilirisasi/Sektor Usaha Renewable Energy. - PPS KEBIJAKAN 2 (DUA),
Untuk PPS kebijakan dua Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh Final) berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi Tahun Pajak 2020, Wajib pajak yang dapat mengikuti Program Pengungkapan Sukarela (PPS) Kebijakan dua ini terbatas hanya untuk Wajib Pajak Orang Pribadi yang belum melaporkan/mengungkapkan Harta yang diperoleh sejak tahun 1 Januari 2016 s.d. 31 Desember 2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan tahun 2020. Lalu untuk Kebijakan dua ini berapa tarifnya ? ternyata tarifnya berbeda dengan PPS kebijakan satu, berikut perinciannya:
• 18% untuk harta deklarasi luar negeri, artinya harta atau asset di luar negeri yang hanya dideklarasikan tanpa dibawa masuk ke Indonesia (Repatriasi) dan tidak di Investasikan di Indonesia.
• 14% untuk harta Luar Negeri repatriasi dan harta Dalam Negeri, artinya harta atau aset Luar Negeri yang dibawa masuk ke Indonesia (Repatriasi) tanpa di Investasikan, juga harta/aset dalam negeri yang tidak diInvestasikan.
• 12% untuk harta/aset Luar Negeri Repatriasi dan harta/aset Dalam Negeri, yang diinvestasikan dalam Surat Berharga Negara (SBN)/Sektor Usaha Hilirisasi/Sektor Usaha Renewable Energy.
Lalu Manfaat apa saja yang kita peroleh bila mengikuti Program Pengungkapan Sukarela (PPS):
A. PPS kebijakan 1,
- Tidak dikenai sanksi sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak, Atas tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan dan ditambah dengan sanksi administrasi perpajakan berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen) dari Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar.
- Perlindungan Data, Data/Informasi yang bersumber dari SPPH dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak yang mengikuti PPS.
B. PPS Kebijakan 2,
- Direktorat Jenderal Pajak tidak menerbitkan ketetapan pajak untuk kewajiban pajak tahun 2016 sampai dengan tahun 2020, kecuali ditemukan harta kurang diungkap (PPh OP, PPh Pot/Put, PPN, dan juga kecuali pajak yang telah dipotong/dipungut tetapi tidak disetorkan).
- Perlindungan Data, Data/Informasi yang bersumber dari SPPH dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak yang mengikuti PPS. Poin dua ini sama dengan PPS Kebijakan 1.
Sesuai judulnya Program Pengungkapan Sukarela (PPS) / Voluntary Disclosure Program (VDP) ini adalah pengungkapan harta/aset yang belum diungkap atau dilaporkan dan dilakukan secara sukarela. Lalu timbul pertanyaan bagaimana kalau kita tidak mengikutinya padahal misalnya jelas-jelas ada harta/aset yang kita belum ungkap atau dilaporkan pada SPT Tahunan PPh ?.
Konsekuensinya untuk Harta kurang ungkap pada PPS Kebijakan I, Bagi peserta Tax Amnesty (Wajib Pajak OP atau Wajib Pajak Badan) yang sampai dengan PPS berakhir (30 Juni 2021) masih terdapat harta belum dilaporkan dalam Surat Pernyataan Harta (SPH) pada saat mengikuti Tax Amnesty 2016 dan Direktorat Jenderal Pajak menemukan harta lainnya (yang belum diungkap) sampai dengan 31 Desember 2015 tersebut. maka, akan dikenai PPh Final dari Harta Bersih Tambahan dengan tarif : 25% (untuk WP Badan), 30% (untuk WP OP), dan 12,5% (untuk WP tertentu), kemudian asset/harta yang kurang diungkap dikenai sanksi 200% [Pasal 18 ayat (3) UU Tax Amnesty].
Konsekuensi untuk Harta kurang ungkap pada PPS Kebijakan II, Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi peserta PPS Kebijakan II yang Masih Terdapat Harta tahun 2016 s.d. 2020 yang tidak diungkap Wajib Pajak dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH), Dikenai PPh Final dari Harta Bersih Tambahan dengan tarif 30% [Pasal 11 ayat (2) UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan] kemudian Aset yang kurang diungkap dikenai sanksi bunga per bulan ditambah uplift factor 15% [sanksi Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB) Pasal 13 ayat (2) UU KUP].
CARA PENGHITUNGAN PPh FINAL PPS KEBIJAKAN 1:
TARIF X HARTA BERSIH
HARTA BERSIH = HARTA – UTANG SESUAI UU TAX AMNESTY
CARA PENGHITUNGAN PPh FINAL PPS KEBIJAKAN 2:
TARIF X HARTA BERSIH
HARTA BERSIH = HARTA – POKOK UTANG
PEDOMAN NILAI HARTA KEBIJAKAN II
Nilai nominal, untuk kas atau setara kas dan harga perolehan, untuk nilai selain kas atau setara kas.
PENGALIHAN HARTA DAN PENGINVESTASIAN HARTA BERSIH,
- Wajib Pajak yang menyatakan mengalihkan harta bersih ke dalam wilayah NKRI wajib mengalihkan harta tersebut paling lambat tanggal 30 September 2022.
- Wajib Pajak yang menyatakan menginvestasikan harta bersih pada:
kegiatan usaha sektor pengolahan sumber daya alam atau sektor energi terbarukan di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan/atau
surat berharga negara, wajib menginvestasikan harta bersih tersebut paling lambat tanggal 30 September 2023. - Investasi harta bersih tersebut wajib dilakukan paling singkat 5 (lima) tahun sejak diinvestasikan.
Beberapa hari lagi Program ini akan berakhir. Apalagi yg kalian tunggu, segera laporkan secara sukarela harta/asset yang belum diungkap. Harta bersih hati menjadi tenang.
Biodata Penulis
Nama : Yasir Arafat, S.IP, SE, MM
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 1 Maret 1969
Alamat Rumah : Jl. Sukakarya 1 No.69 RT.002 RW.09, Kelurahan Serua Indah,
Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten – 15414.
No yang Dapat dihubungi : 081381362803
Alamat Email : yasirar1@gmail.com
No Rekening : (BRI) 0427 0102 0588 501
Pekerjaan/Kantor : Pegawai Negeri Sipil/Penyuluh Pajak Ahli Muda di KPP Pratama Jakarta Setiabudi Satu.