beritalennus.co.id Probolinggo — Berita Lensa Nusantara di tengah upaya pemerintah menjamin akses pendidikan yang adil dan bebas pungutan, ironi justru terjadi di akar rumput. Sejumlah wali murid di Kabupaten Probolinggo mengeluhkan adanya pungutan biaya perpisahan di beberapa sekolah. Nilainya bervariasi ,berkisar antara puluhan hingga ratusan ribu per siswa ,angka yang cukup menguras dompet keluarga menengah ke bawah.
Lebih memprihatinkan, pungutan ini muncul saat orang tua sedang menyiapkan biaya masuk sekolah lanjutan bagi anak-anak mereka. Tidak sedikit dari mereka terpaksa berutang atau mengorbankan kebutuhan lain demi “kewajiban tidak tertulis” itu.
“Katanya Sukarela, Tapi Kalau Tidak Bayar, Khawatir di Kucilkan”
Seorang wali murid yang identitasnya kami rahasiakan demi perlindungan, menuturkan bahwa ia merasa tertekan oleh permintaan iuran perpisahan di sekolah anaknya.
“Saya punya tiga anak sekolah. Yang lulus satu, yang dua masih lanjut. Biaya masuk sekolah sudah berat,ditambah lagi masih harus bayar iuran perpisahan, Kalau enggak ikut perpisahan khawatir anak saya akan merasa terkucilkan,” ujarnya dengan nada getir.
Kondisi ini diperparah oleh tekanan sosial. Istilah “kesepakatan orang tua” yang sering dipakai oleh pihak sekolah dan komite, menurutnya, lebih menyerupai instruksi sepihak ketimbang musyawarah.
“Kami ini orang kecil. Mau menolak, takut anak jadi bahan omongan. Mau ikut, ya kami pontang-panting cari uang,” lanjutnya.
Saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikdaya) Kabupaten Probolinggo, Drs. H. Dwijoko Nurjayadi, M.M.. menyampaikan sikap tegas, “Saya sudah melarang,” tulisnya singkat.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa secara kelembagaan, Dinas Pendidikan tidak mengizinkan praktik pungutan tersebut. Namun, lemahnya pengawasan membuka celah bagi sekolah atau komite untuk tetap melanjutkan praktik ini, dengan bungkus “inisiatif orang tua” yang sering kali tidak benar-benar sukarela.
Fakta bahwa pungutan ini dilakukan di sekolah yang dibiayai oleh APBN dan APBD menjadikannya kontradiktif dengan regulasi nasional, di antaranya:
Permendikbud No. 75 Tahun 2016: Komite sekolah tidak boleh melakukan pungutan.
Permendikbud No. 44 Tahun 2012: Larangan pungutan pada pendidikan dasar dan menengah negeri.
Serta ,Surat Edaran Disdik Jatim No. 000.1.5/1506/101.5/2025: Sekolah dilarang mengadakan kegiatan perpisahan/wisuda yang membebani siswa.
Namun hingga hari ini, tidak ada laporan sanksi nyata atau tindak tegas terhadap pelanggaran yang terjadi berulang kali setiap tahun ajaran baru.
Jika larangan hanya sebatas pernyataan tanpa pengawasan, maka ini menjadi ladang subur bagi praktik pungutan berkedok kegiatan non-akademik. Lembaga pendidikan seharusnya menjadi ruang aman bagi siswa dan keluarga, bukan menambah beban psikologis dan ekonomi dengan kewajiban-kewajiban terselubung.
“Apa gunanya larangan jika sekolah tetap menarik iuran dan anak yang tak ikut harus siap malu?” ujar Bang Azis seorang aktivis pendidikan dari Probolinggo yang berharap Dinas segera menggelar sidak langsung ke sekolah.