Berita Lennus , Jakarta | Syukur Alhamdulillah, umat Muslim dunia khususnya di Indonesia dapat kembali memperingati sekaligus merayakan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW 1443 Hijriyah, dimana kelahiran Baginda Rasullullah pada tanggal 12 Rabiul Awal, jatuh pada hari ini, Selasa 19 Oktober 2021.
Meski tidak dapat diperingati dan dirayakan seperti biasa karena masih mewabahnya pandemi Covid-19 di tanah air, saya yakin esensi, makna serta keutamaan lahirnya Baginda Rasulullah SAW, memberikan banyak tauladan dan nilai-nilai luhur penuh kebajikan bukan hanya kepada muslim semata namun bagi seluruh umat manusia dan kehidupan alam semesta, seperti tertuang dalam
QS. Al-Anbiya’ ayat 107
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
“Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.”
dan QS. Al-Ahzab ayat 21
حَسَنَةٌ لِّمَنْ كَانَ يَرْجُوا اللّٰهَ وَالْيَوْمَ الْاٰخِرَ وَذَكَرَ اللّٰهَ كَثِيْرًاۗ
Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.
Dua ayat ini menunjukan betapa luar biasanya seorang hamba-Nya yang bernama Muhammad, terlahir dengan akhlakul karimah yang baik sebagai pembawa rahmat serta hidayah bagi seluruh kehidupan bagi alam semesta.
Pada awal diangkat sebagai Rasul, Nabi Besar Muhammad SAW menyatakan bahwa* *إِنَّمَابُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلاَقِ
(sesungguhnya aku tiada diutus oleh Allah kecuali untuk memperbaiki, mengoreksi dan menyempurnakan akhlak manusia).
Jelas sudah bahwanya misi mengembalikan akhlak yang sejatinya ada pada diri setiap manusia, adalah satu dari berjuta legacy Baginda Rasulullah untuk seluruh umat, dan seyogianya menjadi kaidah bagi setiap manusia dalam menjalani hidup dan kehidupan di dunia fana ini, ujar ketua KPK H. Firli Bahuri dalam siaran persnya yang diterima redaksi, Selasa 19/10 pagi.
Firli juga mengungkap bahwasanya akhlak yang baik tentu harus senantiasa dijaga dalam diri seorang manusia untuk meredam ketamakan, sifat binatang yang menjadi sisi kelam terdalam dan sejatinya juga ada pada setiap manusia.
Dengan kata lain, ketamakan yang sifatnya sangat jahat akan bangkit dikala akhlak seorang manusia rusak, terangnya.
Adapun, sebagai contoh nyata jahatnya ketamakan dapat kita lihat pada seorang koruptor, manusia yang tak mampu lagi mengontrol hasrat dan hawa nafsu duniawi yang membuat dirinya rakus layaknya se-ekor tikus, serakah dan tamak karena tidak pernah puas dan selalu merasa kurang dengan apa yang telah dimilikinya, ungkap Ketua KPK H. Firli Bahuri
S”eberapa kecilnya pendapat kita akan cukup jika digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup”.
Akan tetapi sebaliknya seberapa besarnya pendapatan kita yang kita peroleh akan selalu kurang , jika digunakan untuk memenuhi kebutuhan gaya hidup, jelas ketua KPK.
Selanjutnya, rasa tamak, rakus layaknya tikus inilah yang menghilangkan sisi kemanusiaan, nilai-nilai ketuhanan, agama, budaya, serta norma dan etika pada diri seorang koruptor, sehingga berani dan tega melakukan pidana korupsi.
Dimana kejahatan kemanusiaan yang dampak destruktifnya bukan hanya merugikan keuangan dan perekonomian semata, namun dapat menggagalkan hingga meluluh lantakkan sistem, tatanan kehidupan bangsa serta tujuan bernegara.
Ingat, korupsi bukan hanya terjadi di zaman ini. Korupsi juga menjadi masalah di masa lalu termasuk pada era kepemimpinan Nabi Besar Muhammad SAW.
Namun demikian, berbicara penanganan korupsi perlu dicatat, di zaman Nabi juga terjadi OTT dimana Baginda Rasulullah SAW sangat membenci dan melaknat orang yang berani korupsi atau berperilaku koruptif.
Dikisahkan, Rasulullah SAW yang baru saja memenangi pertempuran Khaibar, enggan menyolatkan satu jenazah tentara yang ikut berperang dengannya.
Meski heran, berapa sahabat yang melihat jelas raut kekecewaan di wajah Nabi, sigap berperan layaknya penyidik yang melakukan OTT, menemukan kharazan, semacam perhiasan manik-manik khas yahudi seharga dua dirham pada jasad tentara tersebut.
“Sungguh! Saudara kalian ini telah menggelapkan harta rampasan perang di jalan Allah SWT,” Sabda Rasulullah.
Dalam beberapa kisah lain seperti Perang Khaibar disebutkan Nabi Muhammad SAW, enggan menshalatkan jenazah siapapun termasuk sahabatnya yang terbukti melakukan ‘ghulul ‘(korupsi)”,
Dari Hadis Riwayat (HR) Muslim dari kisah tersebut yang dapat disimpulkan bahwasanya shalat yang dikerjakan, sedekah yang diberikan, haji yang ditunaikan atau kebaikan lain yang telah dilakukan, tidak bermakna ibadah sama sekali di mata Allah SWT apabila seorang Muslim masih melakukan praktik korupsi dalam hidupnya. (Red)